BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinaan adalah akad yang
menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam ikatan suami istri.
Dalam perkawinan setiap orang ingin membentuk keluarga bahagia dan utuh sampai
akhir hayat tetapi, kadang ada suatu permasalahan yang membuat pertengkaran
bahkan menngambil jalan perceraian. Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah melepaskan ikatan nikah
dari pihak suami dengan mengucapkan lafazh yang tertentu, misalnya suami
berkata kepada istrinya. Pada dasarnya talak hukumnya boleh, tetapi sangat
dibenci menurut pandangan syara’. Ucapan untuk mentalak istri ada dua yaitu
ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak, dan ucapan
yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya.
Salah satu jalan untuk kembali yang
digunakan seorang suami kepada mantan istrinya ialah dengan rujuk. Kesempatan
itu diberikan kepada setiap manusia oleh Allah untuk memperbaiki perkawinannya
yang sebelumnya kurang baik. Hal tersebut merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri mempunyai penngertian
yang luas yaitu kembalinya seorang suami kepada istri yang telah ditalak raj’i
bukan talak ba’in selama masih dalam masa iddah. Dari definisi tersebut,
terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat perbuatan rujuk. Seseorang
yang ingin melakukuan rujuk harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan mengenai
rujuk agar terlaksana dengan baik. Diantara hal-hal yang berkaitan ialah: tata
cara rujuk, hak rujuk, hukum rujuk serta rukun dan syarat dalam rujuk. Untuk
lebih jelas, dimakalah ini akan dibahas mengenai hal-hal terrsebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Talak
2.
Bilangan Talak
3.
Ungkapan Cerai (Shighat Talak)
4.
Rujuk
5.
Tata cara rujuk
6.
Hak, rukun, dan syarat rujuk
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini
bertujuan agar para pembaca bisa mengerti hal-hal yang harus diperhatikan
mengenai talak dan rujuk agar terlaksana dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TALAK
1.A. Definisi Talak
Talak di ambil dari kata itlak
artinya melepaskan atau meninggalkan. Talak menurut bahasa adalah membuka
ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun
ikatan ma’nawi seperti nikah. Talak menurut istilah adalah menghilangkan ikatan
pernikahan atau menguranggi pelepasan ikatan dengan mengunakan kata-kata
tertentu. Talak menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri
tali pernikahan suami istri.
Langgengnya
kehidupan dalam ikatan perkawinan
merupakan suatu tujuan yang di utamakan dalam iman. Akad nikah di adakan untuk
selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah
tangga sebagai tempat berlindung.
Oleh karna
itu dapat di katakan bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling
suci dan kokoh dan tempaat mencurahkan kasih sayang dan dapat memelihara
anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.
Begitu kuat
dan kokohnya hubungan antara suami istri maka tidak sepantasnya apabila
hubungan tersebut di rusak dan di sepelekan, setiap usaha untuk menyepelekan
hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karna ia
merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.
2.A. Macam-Macam
Talak
Secara garis
besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi
menjadi 2 macam yaitu:
1.
Talak Raj’i
Talak Raj’I yaitu talak dimana suami
masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya. Setelah itu di jatuhkan
lafal-lafal tertentu dan istri benar benar sudah di gauli. Jelasnya talak Raj’I
adalah talak yang dijatukan suami kepada istrinya sebagai talak atau talak dua .Allah berfirman dalam (surat
al-baqarah 228)
Yang atinya:
“Istri-istri yang di talak,
hendaklah memelihara dirinya selama 3Quru’. Mereka tidak halal menyembunyikan
apa yang telah diciptakan Allah dala kandungan rahim mereka. Jika mereka
beriman kepada Allah dan hari kiamat dan bekas suami mereka lebih berhak
kembali kepadanya dalam massa iddah itu jika mereka para suami itu menghendaki
ishlah’ (surat Al_baqarah :228)
2. Talak Ba’in
Apabila istri bersetatus talak ba’in,
maka suami tidak boleh rujuk kepadanya, suami boleh melaksanakan akad nikah
baru kepada bekas istrinya itu dan membayar mahar baru dengan mengunakan rukun
dan syarat yang baru pula.
Fuqoha sependapat bahwa talak ba’in
terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami istri karena adanya bilangan
talak tertentu karena adanya penerimaan ganti pada khulu’.
Talak ba’in ada dua macam yaitu talak ba”in sughra dan
talak bai’in kubra :
a.
Talak ba’in sughra
yaitu talak yang terjadi kurang dari
tiga kali keduannya tidak hak rujuk dalam massaiddah, akan taetapi boleh dan
bisa menikah kembali dengan akad nikah yang baru. Talak ba’in sughra begitu di
ucapkan dapat memutuskan hubungan suami istri. Karena ikatan perkawinannya
telah putus maka istrinya kembali menjadi orang asing bagi suaminya. Oleh
karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan itu apalagi sampai
mengaulinya dan jika salah satunya meninggal sebelum atau masi iddah, maka yang
lain tak mendapat memperoleh warisannya.
Akan tetapi, pihak perempuan masih berhak atas sisa pembayaran mahar yang tidak
di berikan secara kontan, sebelum di talak atau sebelum suami meninggal sesuai
yang telah dijanjikan .
Mantan suami
boleh atau berhak kepada kembali kepada, mantan istri yang telah ditalak ba’in
sughraadalah akad nikah dan mahar baru. Selama ia belum menikah dengan
laki-laki lain.
Adapun yang
termasuk kedalam bagian talakba’in sughra adalah
1. Talak karena fasakh
yang di jatukan oleh hakim di pengadilan agama
2. Talak pakai iwad
(ganti rugi) atau talak tebus berupa khuluk
3. Talak karena belum
dikumpuli
b. Talak ba’in kubra
Talak ba’in
kubra yaitu talak yang terjadi sampai 3x penuh dan tidak ada rujuk dalam massa
iddah maupun dalam nikah baru, kecuali kalau bekas istrinya telah nikah lagi dengan
orang lain dan telah berkumpul sebagai suami istri secara nyata dan sah.
Yang termasuk talak kubra adalah
sebagai berikut:
1. Talak li’an
Talak li’an
yaitu talak yang terjadi karena suaminya menuduh istrinya berbuaat zina atau
suaminya tidak mengakui anak yang ikandung oleh istrinya kemudian suaminya
bersumpah sampai lima kali dalam hal ini tidak hak untuk rujuk dan menikahinya
lagi
2.
Talak tiga
Bagi istri yang ditalak 3X, tidak ada
rujuk untuk massa iddah. Mantan suami bisa kembali dengan pernikahan baru
apabila;
a. Mantan istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain
b. Telah digauli dengan suami yang kedua (suami baru)
c. Sudah dicerai suami yang kedua
d. Telah habis masa
iddahnya
3. Talak Sunni dan
Talak Bid’y
Fuqoha
sepakat membolehkan seorang suami menjatuhkan talak sunni terhadddap istrinya
yaitu apabila ia menjatuhkan talak satu kepada istrinya ketika dalam keadaan
suci dan belum di gauli. Apabila suami yang menjatuhkan talak ketika istri
dalam keadaan haid atau suci tapi sudah di gauli maka termasuk talak bid’y.
Jika talak sunni adalah talak yang
di jatuhkan ketika istri telah sucidari haidnya dan belum di campuri sejak saat
berhenti dari haid ini, maka ia telah masuk kedalam iddahnya dan pada saat ini
suami boleh.
3.A. Rukun
Talaq
Beberapa hal yang menjadi rukun
talak dengan syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:
1. Kata-kata talak
Dalam hal kata-kata talak terdapat 2
persoalan, yaitu kata-kata talak mutlak dan kata-kata talak muqayyad (terbatas)
a. Kata-kata talak mutlak
Ulama sepakat bahwa suatu talak
dapat terjadi, apabila disertai dengan niat dan menggunakan kata-kata yang
tegas. Kata-kata talak itu ada 2 yaitu:
1) Kata-kata tegas (Sharih)
Kata-kata talak yang sharih artinya
lafal yang digunakan itu terus terang menyatakan perceraian.
Misalnya: suami berkata kepada istrinya “Engkau telah
aku ceraikan” atau “Aku telah menjatuhkan talak untukmu, “Engkau tertalak,”
2) Kata-kata talak tidak tegas (sindiran)
Sindiran artinya lafal yang tidak
ditetapkan untuk perceraian, tetapi bisa berarti talak dan lainnya.
Misalnya, “Engkau terpisah” kata ini bisa berarti
pisah dari suami, atau bisa juga pisah (terjauh) dari kejahatan atau kata-kata
lain.
2.
Orang (suami) yang menjatuhkan talak
Orang (suami) yang boleh menjatuhkan
talak adalah:
a. Berakal
sehat, maka tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b. Dewasa
dan merdeka
c. Tidak
dipaksa
d. Tidak
senang mabuk
e.
Tidak main-main atau bergurau
f. Tidak
pelupa
g.
Tidak dalam keadaan bingung
h. Masih
ada hak untuk mentalak
3. Istri yang dapat dijatuhi talak
Mengenai istri-istri yang dapat
ditajuhi talak, Fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
a. Perempuan yang dinikahi dengan sah
b. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah
c. Belum habis masa iddahnya pada talak raj’i
d. Tidak sedang haid atau suci yang dicampuri
4.A. Syarat Sah Jatuhnya Talak
Talak yang dijatuhkan oleh suami
dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang
yang menjatuhkan talak itu sudah mukallaf balig, dan berakal sehat
2. Talak
itu hendaknya dilakukan atas kemauan
5.A. Bilangan Talak
Orang yang merdeka berhak mentalak
istrinya dari satu sampai tiga kali talak. Talak satu atau dua boleh rujuk
kembali sebelum habis masa iddahnya dan boleh kawin kembali sesudah iddah.
Ketika seorang suami menjatuhkan
talaq satu atau pada istrinya, maka suami masih bisa untuk rujuk lagi dengan
istrinya selama masa iddahnya belum habis. Apabila masa iddahnya telah habis,
diperbolehkan bagi suaminya untuk menikahi mantan istrinya tersebut dengan
melaksanakan akad nikah baru, dengan ketentuan bahwa suami tinggal memiliki
sisa talaq dari talaq sebelumnya, maksudnya jika sebelumnya ia menceraikan
istrinya dengan talaq satu, maka ia masih memiliki dua talaq, dan bila ia
menceraikan istrinya dengan dua talaq, maka ia tinggal memiliki satu talaq
lagi.
Ketentuan bahwa suami tinggal
memiliki sisa dari talaq yang telah dijatuhkan sebelumnya tersebut berlaku bagi
suami baik ia menikahi mantan istrinya setelah masa iddahnya habis dan belum
dinikahi laki-laki lain atau setelah istrinya dinikahi oleh orang lain. Sebab
keberadaan suami baru bagi mantan istrinya tidak mempengaruhi jatah talaq suami
pertama sebelum ia menuntaskan bilangan talaqnya.
Ucapan talak ada dua macam yaitu Sharih
dan Kinayah :
1) Talak Sharih menggunkan 3 lafal yaitu
talaq, firaq dan sarah, lafal pertama sudah popular baik secara bahasa maupun
syara’. Lafal kedua dan ketiga terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna terpisah
antara kedua pasang suami istri.
Keduanya diungkapkan secara jelas seprti lafal talak.
Allah berfirman, “maka menahan dengan
baik atau melepaskan dengan baik” (Q.S Al-Baqarah: 229)
2) Ungkapan talak dengan sindiran (kinayah)
Lafal talak sindiran (kinayah),
yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yanglain kalimatnya banyak
dan tidak terhitung.
Berikut ini contoh talak sindiran,
misalnya engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melnggarlah, bebaskan
rahimmu, pulanglah ke orang tuamu, talimu terhadap aku keanehanmu, jauhlah aku,
pergilah dan lain-lain.
Beberapa masalah, perkataan seorang suami terhadap
istri: “Engkau terhadapku” diartikan talak dan mungkin zhihar (penyerupaan
istri dengan mahram suami).
Ada beberapa kemungkinan makna
ungkapan tersebut yakni sebagai berikut:
a. Jikala berniat talak jadilah terletak karena mengandung arti haram sebab
talak dan jika berniat lain yang banyak terjadi adalah yang sesuai dengan
niatnya.
b. Jika diniatkan zhihar terjadilah zhihar karena zhihar menuntut keharaman
sampai kekufuran boleh menggunakan
sindiran haram.
c. Jika seseorang berniat keduanya secara bersamaan yakni talak dan zhihar,
boleh memilih diantara keduanya dan terjadilah apa yang dipilih.
d. Jika tidak berniat apapun maka tidak terjadi apapun juga, tidak zhihar
dan tidak talak karena satu dari dua lafal yang digunakan diatas tak tegas
sedangkan sindiran perlu niat yang akan
membantu maksud lafal.
e. Jika ia
berniat dengan ucapannya.
B.
RUJUK
1.B. Definisi Rujuk
Rujuk
merupakan prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang diberikan Allah SWT
untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus selama-lamanya.
Hal ini diperbolehkan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Rujuk
hanya dilakukan pada talak raj’i, yaitu talak pertama atau kedua yang
dijatuhkan suami kepada istri yang telah digauli. Oleh sebab itu, rujuk tidak
dapat diberikan pada peristiwa talak yang ketiga (ba’in). Rujuk dilakukan
melalui perkataan yang jelas, bukan perbuatan. Para ulama berbeda pendapat
mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Menurut Imam Syafi’i, bahwa
rujuk tersebut tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya mengatakan sah. Rujuk
tidak mudah untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri mempunyai tata caranya dan ada
pasal-pasal yang mengatur bagaimana cara merujuk. Diantara pasal-pasal tersebut
ialah: pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169 KHI. Seseoarang yang melakukan rujuk
dengan tujuan tidak baik, maka hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut
merupakan perbuatan yang dzalim.
Rujuk dalam
pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi
adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai
raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam
masa iddah. Dalam hukum perkawinan
islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.
Dari
definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat
dari perbuatan yang bernama rujuk itu:
1.
kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya
sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir
dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk
perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
2.
Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa
istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau
ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai
atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk
dan
3.
Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk
itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis
mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk
itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.
·
Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut
Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah, berpendapat
rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang di
talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri.
Hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat
hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk
mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si
wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Seorang
suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami tersebut tidak
boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu:
telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan tersebut menikah
lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang telah dikawininya
lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa
iddahnya dari lelaki tersebut.
2.B. Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang
yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
a. Rukun Rujuk
Yang
termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri
oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk dilakukan
dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui perbuatan
(campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat,
apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian
mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda
pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Imam Syafi’i
berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang
menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat
dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan
para ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman
Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat
tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan
pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib.
b.
Syarat Rujuk
Syarat dalam
rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan
mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
1. Laki-laki yang merujuk, adapun
syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai berikut: laki-laki yang
merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu
dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang
mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat
akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum
dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’
yang dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari
orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena
sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana
berbeda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
2. Perempuan yang
dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah
perempuan itu istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah
diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah
ditalak namun dalam bentuk talak ba’in, istri
itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan
hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam
iddah. Sehabis iddah itu putuslah
hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan
istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada
istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk
hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah,
sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Menurut Wahbah al Zuhaily dalam
Nuruddin dan Tarigan mengatakan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat
rujuk yaitu:
a. Kerelaan istri, dalam rujuk tidak
disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang
tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
b. Tidak disyaratkan suami untuk
memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan
c. saksi ketika rujuk, saksi tidak
diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam
sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati
belaka.
3.B. Tata Cara
Rujuk
Mengenai
tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk.
Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1. Suami yang hendak merujuk
istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan
membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan,
2. Rujuk dilakukan dengan
persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat
Nikah,
3. Pegawai Pencatat Nikah memeriksa
dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat
merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam
talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4. Setelah itu suami mengucapkan
rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani
Buku Pendaftaran Rujuk dan
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan,
Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban
mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 KHI:
1. Dalam hal rujuk yang dilakukan di
hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi
dan ditandatangani oleh masing-masing
yang bersangkutan beserta
saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku
Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan,
2. Pengiriman lembar pertama dari
daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya
lima belas hari sesudah rujuk dilakukan dan
3. Apabila lembar pertama dari
daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan
salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab
hilangnya.
Menurut Hakim, tata cara mengenai
rujuk dalam pasal 169 KHI ialah sebagai berikut :
1. Pegawai Pencatat Nikah membuat
surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan
Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri
masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Mentri Agama,
2. Suami istri atau kuasanya membawa
Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah
masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
3. Catatan yang dimaksud berisi
tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.
4.B. Hikmah
Rujuk
Dibolehkannya
rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa
hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing
pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling
memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk
mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan
yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah
kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga
sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.
5.B. Hukum
Rujuk
Adapun hukum rujuk, yaitu :
1. Wajib, terhadap suami yang
mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya
terhadap istri yang ditalak,
2.
Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
3.
Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4. Mubah, ini adalah
hukum rujuk yang asli dan
5. Sunnah, apabila suami bermaksud
untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya.
6.B. Hak Rujuk
Hak merujuk
bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan
Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki
ishlah (perbaikan)”. Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i
mempunyai batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan
perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan
tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini
adalah:
Talak
menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda
atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah. Talak menurut syara’
ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Rujuk dalam
pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi
adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai
raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam
masa iddah. Dalam hukum perkawinan
islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.
B. Saran
Didalam kehidupan kita sering kita
mendengar kata talak dan rujuk serta yang berkaitan tentang itu, tetapi
kebanyakan kita tidak mengetahui secara benar apa yang dimaksud dengan talak,
dan rujuk. Untuk itu kami menyusun makalah ini agar dapat memberikan pelajaran
tentang talak dan iddah supaya pemahami dan pengetahuan dapat bertambah.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Abdul Gani. 1994. Komplikasi Hukum Islam
dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Hakim, Haji
Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mughniyah,
Muhammad Jawad. 2008. Fiqih Lima Mazhab.
Jakarta: Lentera.
Nuruddin,
Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ramulyo,
Muhammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan
Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Subki, A’la.
2010. Pendidikan Agama Islam. Klaten:
CV. Gema Nusa.
Syariffudin,
Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.