Selasa, 25 Oktober 2016

Makalah Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)


PENDAHULUAN

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shalih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan yang meliputi bidang-bidang akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyah.
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah, agama semua Nabi-Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
Dengan beragama Islam maka setiap Muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, dan menjalankan kekhalifaan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri.
Setiap Muslim yang berjiwa mukmin, muhsin, dan muttaqin, yang paripurma itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirik, bid’ah, dan khurafat, memiliki cara berpikir bayani (mendasarkan pada nash-nash yang saling menjelaskan), burhani (mendasar pada bukti-bukti atau dalil ilmiah yang pasti), dan irfani (mendasarkan pada fikiran yang mendalam dan hati nurani), dan perilaku serta tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq karimah yang menjadi rahmatan li-‘alamin. Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti, pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan, dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila sungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan demikian, Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem tindakan yang menyatu dalam diri setiap Muslim dan kaum Muslimin sebagaimana pesan utama risalah dakwah Islam.
Dakwah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang Islam sebagai pelaku dakwah itu sendiri (ibda’ binafsik) sebelum berdakwah kepada orang/pihak lain sesuai dengan seruan Allah : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka....” (Q.S Yusuf/12:108). Upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan dialakukan melalui dakwah itu, ialah mengajak kepada kebaikan (amru bil ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar), dan mengajak untuk beriman (tu’minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaik-baiknya atau khairu ummah.
Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan menyeluruh itu, maka bagi segenap warga Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum mendakwahkan Islam kepada pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai Muslim, benar-benar dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup kehidupan, sehingga Muhammadiyah secara kelembagaan dan orang-orang Muhammadiyah secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku dakwah menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).
Tuntutan Pelaksanaan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah mengikat seluruh warga, pimpinan, dan lembaga yang berada di lingkungan Persarikatan Muhammadiyah sebagai program khusus yang harus  dilakukan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kebaikan hidup bersama dan tegaknya Masyarakat Utama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin. Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting di bawah kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammdiyah bertanggung jawab di setiap daerah masing-masing untuk mengelola, dan mengevaluasi pelaksanaan program khusus Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Pelaksanaan penerapan/operasionalisasi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah di setiap tingkatan hendaknya dikoordinasikan dan melibatkan semua Majelis dalam satu koordinasi pelaksanaan yang terpadu dan efektif serta efisien menuju keberhasilan mencapai tujuan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memimpinkan pelaksanaan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini dengan mengerahkan segala potensi, usaha, dan kewenangan yang dimilikinya sehingga program ini dapat berhasil mencapai tujuannya.

A.    Landasan Dan Sumber Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHWIM)
Landasan dan sumber Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi yang merupakan pengembangan dan pengayaan dari pemikiran-pemikiran formal (baku) dalam Muhammadiyah seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, serta hasil-hasil Keputusan Majelis Tarjih.

B.     Latar Belakang Lahirnya Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)
Warga Muhammadiyah dewasa ini makin memerlukan pedoman kehidupan yang bersifat panduan dan pengayaan dalam menjalani berbagai kegiatan sehari-hari. Tuntutan ini didasarkan atas perkembangan situasi dan kondisi antara lain:
1.    Kepentingan akan adanya pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992 yang lebih merupakan konsep filosofis.
2.    Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu.
3.    Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai-guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21.
4.    Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serbamelintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.
5.    Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam ber-Muhammadiyah karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari Muhammadiyah sendiri.

C.    Sifat Dan Karakteristik Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah memiliki beberapa sifat/kriteria sebagai berikut:
1.    Mengandung hal-hal yang pokok/prinsip dan penting dalam bentuk acuan nilai dan norma.
2.    Bersifat pengayaan dalam arti memberi banyak khazanah untuk membentuk keluhuran dan kemulian ruhani dan tindakan.
3.    Aktual, yakni memiliki keterkaitan dengan tuntutan dan kepentingan kehidupan sehari-hari.
4.    Memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif yang bersifat keteladanan.
5.    Ideal, yakni dapat menjadi panduan umum untuk kehidupan sehari-hari yang bersifat pokok dan utama.
6.    Rabbani, artinya mengandung ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang bersifat akhlaqi yang membuahkan kesalihan.
7.    Taisir, yakni panduan yang mudah difahami dan diamalkan oleh setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah.

D.    Tujuan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)
Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Ada sebelas bagian dalam Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah, yaitu :
1.        Kehidupan Pribadi
a.    Dalam Akidah
b.    Dalam Akhlak
c.    Dalam Ibadah
d.   Dalam Muamalah Duniawi
2.        Kehidupan dalam Keluarga
a.    Kedudukan Keluarga
b.    Fungsi Keluarga
c.    Aktivitas Keluarga
3.        Kehidupan Bermasyarakat
4.        Kehidupan Berorganisasi
5.        Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha
6.        Kehidupan dalam Berbisnis
7.        Kehidupan dalam Mengembangkan Profesi
8.        Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara
9.        Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan
10.    Kehidupan dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
11.    Kehidupan dalam Seni dan Budaya

KESIMPULAN
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Tujuan dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ialah Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Konsep Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah akan terlaksana dan dapat mencapai keberhasilan jika benar-benar menjadi tekad dan kesungguhan sepenuh hati segenap warga dan pimpinan Muhammadiyah dengan menggunakan seluruh ikhtiar yang optimal yang di dukung oleh berbagai faktor yang positif menuju tujuannya.
Dengan senantiasa memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah Subhanahu Wata'ala, insya Allah Muhammadiyah dapat melaksanakan program khusus yang mulia ini sebagai wujud ibadah kepada-Nya demi tegaknya Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur. Nashrun Minallah Wafathun Qarib.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asymuni. dkk. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (Yogyakarta:Suara Muhammadiyah, 2008).
Amini, Nur Rahma. Dkk. Kemuhammadiyahan (Medan:UMSU Press, 2014)


Makalah Talak & Rujuk


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Perkawinaan adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan dalam ikatan suami istri. Dalam perkawinan setiap orang ingin membentuk keluarga bahagia dan utuh sampai akhir hayat tetapi, kadang ada suatu permasalahan yang membuat pertengkaran bahkan menngambil jalan perceraian. Allah paling membenci hal tersebut.
Talak ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafazh yang tertentu, misalnya suami berkata kepada istrinya. Pada dasarnya talak hukumnya boleh, tetapi sangat dibenci menurut pandangan syara’. Ucapan untuk mentalak istri ada dua yaitu ucapan sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak, dan ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya.
Salah satu jalan untuk kembali yang digunakan seorang suami kepada mantan istrinya ialah dengan rujuk. Kesempatan itu diberikan kepada setiap manusia oleh Allah untuk memperbaiki perkawinannya yang sebelumnya kurang baik. Hal tersebut merupakn salah satu hikmah rujuk.
Rujuk sendiri mempunyai penngertian yang luas yaitu kembalinya seorang suami kepada istri yang telah ditalak raj’i bukan talak ba’in selama masih dalam masa iddah. Dari definisi tersebut, terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat perbuatan rujuk. Seseorang yang ingin melakukuan rujuk harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan mengenai rujuk agar terlaksana dengan baik. Diantara hal-hal yang berkaitan ialah: tata cara rujuk, hak rujuk, hukum rujuk serta rukun dan syarat dalam rujuk. Untuk lebih jelas, dimakalah ini akan dibahas mengenai hal-hal terrsebut.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.      Talak
2.      Bilangan Talak
3.      Ungkapan Cerai (Shighat Talak)
4.      Rujuk
5.      Tata cara rujuk
6.      Hak, rukun, dan syarat rujuk
C.  Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan agar para pembaca bisa mengerti hal-hal yang harus diperhatikan mengenai talak dan rujuk agar terlaksana dengan baik.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           TALAK
1.A.  Definisi Talak
Talak di ambil dari kata itlak artinya melepaskan atau meninggalkan. Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah. Talak menurut istilah adalah menghilangkan ikatan pernikahan atau menguranggi pelepasan ikatan dengan mengunakan kata-kata tertentu. Talak menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Langgengnya kehidupan dalam ikatan  perkawinan merupakan suatu tujuan yang di utamakan dalam iman. Akad nikah di adakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung.
Oleh karna itu dapat di katakan bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan kokoh dan tempaat mencurahkan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.
Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut di rusak dan di sepelekan, setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karna ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.

2.A.  Macam-Macam Talak
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.        Talak Raj’i
Talak Raj’I yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya. Setelah itu di jatuhkan lafal-lafal tertentu dan istri benar benar sudah di gauli. Jelasnya talak Raj’I adalah talak yang dijatukan suami kepada istrinya sebagai talak  atau talak dua .Allah berfirman dalam (surat al-baqarah 228)
Yang atinya:
“Istri-istri yang di talak, hendaklah memelihara dirinya selama 3Quru’. Mereka tidak halal menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dala kandungan rahim mereka. Jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat dan bekas suami mereka lebih berhak kembali kepadanya dalam massa iddah itu jika mereka para suami itu menghendaki ishlah’ (surat Al_baqarah :228)

2.   Talak Ba’in
          Apabila istri bersetatus talak ba’in, maka suami tidak boleh rujuk kepadanya, suami boleh melaksanakan akad nikah baru kepada bekas istrinya itu dan membayar mahar baru dengan mengunakan rukun dan syarat yang baru pula.
Fuqoha sependapat bahwa talak ba’in terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami istri karena adanya bilangan talak tertentu karena adanya penerimaan ganti pada khulu’.
Talak ba’in ada dua macam yaitu talak ba”in sughra dan talak bai’in kubra :
a.         Talak ba’in sughra
yaitu talak yang terjadi kurang dari tiga kali keduannya tidak hak rujuk dalam massaiddah, akan taetapi boleh dan bisa menikah kembali dengan akad nikah yang baru. Talak ba’in sughra begitu di ucapkan dapat memutuskan hubungan suami istri. Karena ikatan perkawinannya telah putus maka istrinya kembali menjadi orang asing bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan itu apalagi sampai mengaulinya dan jika salah satunya meninggal sebelum atau masi iddah, maka yang lain tak mendapat  memperoleh warisannya. Akan tetapi, pihak perempuan masih berhak atas sisa pembayaran mahar yang tidak di berikan secara kontan, sebelum di talak atau sebelum suami meninggal sesuai yang telah dijanjikan .
Mantan suami boleh atau berhak kepada kembali kepada, mantan istri yang telah ditalak ba’in sughraadalah akad nikah dan mahar baru. Selama ia belum menikah dengan laki-laki lain.
Adapun yang termasuk kedalam bagian talakba’in sughra adalah
1.  Talak karena fasakh yang di jatukan oleh hakim di pengadilan agama
2.  Talak pakai iwad (ganti rugi) atau talak tebus berupa khuluk
3.  Talak karena belum dikumpuli

b.    Talak  ba’in kubra
Talak ba’in kubra yaitu talak yang terjadi sampai 3x penuh dan tidak ada rujuk dalam massa iddah maupun dalam nikah baru, kecuali kalau bekas istrinya telah nikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul sebagai suami istri secara nyata dan sah.
Yang termasuk talak kubra adalah sebagai berikut:
1.    Talak li’an
Talak li’an yaitu talak yang terjadi karena suaminya menuduh istrinya berbuaat zina atau suaminya tidak mengakui anak yang ikandung oleh istrinya kemudian suaminya bersumpah sampai lima kali dalam hal ini tidak hak untuk rujuk dan menikahinya lagi
2.    Talak tiga
          Bagi istri yang ditalak 3X, tidak ada rujuk untuk massa iddah. Mantan suami bisa kembali dengan pernikahan baru apabila;
a.    Mantan istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain
b.    Telah digauli dengan suami yang kedua (suami baru)
c.    Sudah dicerai suami yang kedua
d.    Telah habis masa iddahnya
3.    Talak Sunni dan Talak Bid’y
Fuqoha sepakat membolehkan seorang suami menjatuhkan talak sunni terhadddap istrinya yaitu apabila ia menjatuhkan talak satu kepada istrinya ketika dalam keadaan suci dan belum di gauli. Apabila suami yang menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haid atau suci tapi sudah di gauli maka termasuk talak bid’y.
Jika talak sunni adalah talak yang di jatuhkan ketika istri telah sucidari haidnya dan belum di campuri sejak saat berhenti dari haid ini, maka ia telah masuk kedalam iddahnya dan pada saat ini suami boleh.

3.A.   Rukun Talaq
Beberapa hal yang menjadi rukun talak dengan syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:
1. Kata-kata talak
Dalam hal kata-kata talak terdapat 2 persoalan, yaitu kata-kata talak mutlak dan kata-kata talak muqayyad (terbatas)
a. Kata-kata talak mutlak
Ulama sepakat bahwa suatu talak dapat terjadi, apabila disertai dengan niat dan menggunakan kata-kata yang tegas. Kata-kata talak itu ada 2 yaitu:
1) Kata-kata tegas (Sharih)
Kata-kata talak yang sharih artinya lafal yang digunakan itu terus terang menyatakan perceraian.
Misalnya: suami berkata kepada istrinya “Engkau telah aku ceraikan” atau “Aku telah menjatuhkan talak untukmu, “Engkau tertalak,”
2) Kata-kata talak tidak tegas (sindiran)
Sindiran artinya lafal yang tidak ditetapkan untuk perceraian, tetapi bisa berarti talak dan lainnya.
Misalnya, “Engkau terpisah” kata ini bisa berarti pisah dari suami, atau bisa juga pisah (terjauh) dari kejahatan atau kata-kata lain.

2.    Orang (suami) yang menjatuhkan talak
Orang (suami) yang boleh menjatuhkan talak adalah:
a. Berakal sehat, maka tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b. Dewasa dan merdeka
c. Tidak dipaksa
d. Tidak senang mabuk
e.  Tidak main-main atau bergurau
f.  Tidak pelupa
g.  Tidak dalam keadaan bingung
h.  Masih ada hak untuk mentalak

3. Istri yang dapat dijatuhi talak
Mengenai istri-istri yang dapat ditajuhi talak, Fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
a.  Perempuan yang dinikahi dengan sah
b.  Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah
c.  Belum habis masa iddahnya pada talak raj’i
d.  Tidak sedang haid atau suci yang dicampuri

4.A.   Syarat Sah Jatuhnya Talak
Talak yang dijatuhkan oleh suami dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang menjatuhkan talak itu sudah mukallaf balig, dan berakal sehat
2. Talak itu hendaknya dilakukan atas kemauan



5.A.   Bilangan Talak
Orang yang merdeka berhak mentalak istrinya dari satu sampai tiga kali talak. Talak satu atau dua boleh rujuk kembali sebelum habis masa iddahnya dan boleh kawin kembali sesudah iddah.
Ketika seorang suami menjatuhkan talaq satu atau pada istrinya, maka suami masih bisa untuk rujuk lagi dengan istrinya selama masa iddahnya belum habis. Apabila masa iddahnya telah habis, diperbolehkan bagi suaminya untuk menikahi mantan istrinya tersebut dengan melaksanakan akad nikah baru, dengan ketentuan bahwa suami tinggal memiliki sisa talaq dari talaq sebelumnya, maksudnya jika sebelumnya ia menceraikan istrinya dengan talaq satu, maka ia masih memiliki dua talaq, dan bila ia menceraikan istrinya dengan dua talaq, maka ia tinggal memiliki satu talaq lagi.
Ketentuan bahwa suami tinggal memiliki sisa dari talaq yang telah dijatuhkan sebelumnya tersebut berlaku bagi suami baik ia menikahi mantan istrinya setelah masa iddahnya habis dan belum dinikahi laki-laki lain atau setelah istrinya dinikahi oleh orang lain. Sebab keberadaan suami baru bagi mantan istrinya tidak mempengaruhi jatah talaq suami pertama sebelum ia menuntaskan bilangan talaqnya.

Ucapan talak ada dua macam yaitu Sharih dan Kinayah  :
1)  Talak Sharih menggunkan 3 lafal yaitu talaq, firaq dan sarah, lafal pertama sudah popular baik secara bahasa maupun syara’. Lafal kedua dan ketiga terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna terpisah antara kedua pasang suami istri.
Keduanya diungkapkan secara jelas seprti lafal talak. Allah  berfirman, “maka menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik” (Q.S Al-Baqarah: 229)

2)  Ungkapan talak dengan sindiran (kinayah)
Lafal talak sindiran (kinayah), yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yanglain kalimatnya banyak dan tidak terhitung.
Berikut ini contoh talak sindiran, misalnya engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melnggarlah, bebaskan rahimmu, pulanglah ke orang tuamu, talimu terhadap aku keanehanmu, jauhlah aku, pergilah dan lain-lain.
Beberapa masalah, perkataan seorang suami terhadap istri: “Engkau terhadapku” diartikan talak dan mungkin zhihar (penyerupaan istri dengan mahram suami).
Ada beberapa kemungkinan makna ungkapan tersebut yakni sebagai berikut:
a. Jikala berniat talak jadilah terletak karena mengandung arti haram sebab talak dan jika berniat lain yang banyak terjadi adalah yang sesuai dengan niatnya.
b. Jika diniatkan zhihar terjadilah zhihar karena zhihar menuntut keharaman sampai  kekufuran boleh menggunakan sindiran haram.
c. Jika seseorang berniat keduanya secara bersamaan yakni talak dan zhihar, boleh memilih diantara keduanya dan terjadilah apa yang dipilih.
d. Jika tidak berniat apapun maka tidak terjadi apapun juga, tidak zhihar dan tidak talak karena satu dari dua lafal yang digunakan diatas tak tegas sedangkan sindiran perlu niat  yang akan membantu maksud lafal.
e.  Jika ia berniat dengan ucapannya.

B.            RUJUK
1.B.   Definisi Rujuk
Rujuk merupakan prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang diberikan Allah SWT untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus selama-lamanya. Hal ini diperbolehkan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Rujuk hanya dilakukan pada talak raj’i, yaitu talak pertama atau kedua yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah digauli. Oleh sebab itu, rujuk tidak dapat diberikan pada peristiwa talak yang ketiga (ba’in). Rujuk dilakukan melalui perkataan yang jelas, bukan perbuatan. Para ulama berbeda pendapat mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Menurut Imam Syafi’i, bahwa rujuk tersebut tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya mengatakan sah. Rujuk tidak mudah untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri mempunyai tata caranya dan ada pasal-pasal yang mengatur bagaimana cara merujuk. Diantara pasal-pasal tersebut ialah: pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169 KHI. Seseoarang yang melakukan rujuk dengan tujuan tidak baik, maka hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut merupakan perbuatan yang dzalim.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.         
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:
1.  kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
2.   Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan
3.  Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru.

·         Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah, berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.

2.B.   Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
a. Rukun Rujuk
Yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib.
   
b.    Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
1. Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
2.  Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah perempuan itu istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan mengatakan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:
a. Kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
b. Tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan
c. saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati belaka.

3.B.   Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3. Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168 KHI:
1. Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing
yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan,
2. Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk dilakukan dan
3. Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Menurut Hakim, tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 KHI ialah sebagai berikut :
1. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
2. Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
3. Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.

4.B.   Hikmah Rujuk
Dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.

5.B.   Hukum Rujuk
Adapun hukum rujuk, yaitu :
1. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
2.  Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
3.  Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4.  Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan
5. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya.

6.B.   Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan)”. Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah:
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah. Talak menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji.         

B. Saran
Didalam kehidupan kita sering kita mendengar kata talak dan rujuk serta yang berkaitan tentang itu, tetapi kebanyakan kita tidak mengetahui secara benar apa yang dimaksud dengan talak, dan rujuk. Untuk itu kami menyusun makalah ini agar dapat memberikan pelajaran tentang talak dan iddah supaya pemahami dan pengetahuan dapat bertambah.


Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani. 1994. Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Hakim, Haji Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ramulyo, Muhammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Subki, A’la. 2010. Pendidikan Agama Islam. Klaten: CV. Gema Nusa.
Syariffudin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.