Tema Buku : Birokrasi di Indonesia
Judul Buku
Resensi : Birokrasi dan Politik di Indonesia
Pengarang : Miftah Thoha
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada
Tahun terbit
: Januari, 2003
Jumlah Halaman :
285
BIROKRASI DI INDONESIA
Sejak dari dahulu birokrasi seolah menjadi kue yang menarik untuk
diperebutkan oleh para politikus. Melihat sejarah, birokrasi seringkali dijerat
masuk dalam perangkap politik praktis. Masuknya politik dalam birokrasi diawali
saat mulai merebaknya partai politik sebagai konsekuensi terbitnya Maklumat
Wakil Presiden Nomor X pada tahun 1945. Dalam kerangka sistem parlementer,
kepemimpinan silih berganti sesuai Parpol pemenang Pemilu. Sayangnya, birokrasi
pemerintah menjadi terkotak-kotak. Kepemimpinan politik pada level puncak suatu
departemen biasa menanamkan pengaruh hingga ke level staf (pegawai). Para
pegawai cenderung tidak netral dan mengikuti pilihan politik pimpinannya.
Akibatnya, orientasi pegawai tidak terfokus pada pelayanan publik yang
independen, tapi diiringi kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya
kepentingan politik tiap departemen yang berbeda-beda menyebabkan pemerintahan
tidak solid. Demikian juga yang terjadi di daerah, pemerintah daerah di
Indonesia berwarna-warni tergantung pemenang Pemilu di wilayahnya. Keadaan
seperti ini berlangsung terus hingga era orde baru. Bedanya, ”partai” yang
berkuasa dari pusat sampai di pelosok daerah hanya satu, yaitu Golongan karya
(Golkar). Sementara PDI dan PPP menjadi partai yang tersubordinasi, hanya
sebagai ”pelengkap penderita”. Pada waktu itu kesempatan memegang pemerintahan
hanya milik Golkar. Demikian pula kesempatan untuk menanamkan pengaruh di
birokrasi. Slogan monoloyalitas seakan merupakan kata ampuh untuk meredam
gejolak politik birokrasi. Afiliasi pegawai pada Golkar sebagai satu-satunya
pilihan politik memang mampu menciptakan stabilitas pemerintahan. Namun
”demokrasi semu” semacam ini mengakibatkan birokrasi tergantung dan menjadi
alat politik. Birokrasi tidak netral karena melayani satu kepentingan politik
tertentu.
Pada masa orde baru, aktivitas birokrasi digunakan melayani rezim untuk
mempertahankan elit yang berkuasa. Akibatnya sistem check and balanceserta
prinsip pelayanan prima diabaikan, sehingga pemerintah tidak mampu merespon tuntutan
masyarakat dengan rasional dan bertanggungjawab. Kemajuan besar terjadi pada
birokrasi pasca reformasi 1998, hubungan birokrasi dengan politik mulai ditata
sebagaimana mestinya. Birokrasi harus steril dari kepentingan politik, maka
birokrasi harus diberi jarak dengan politik praktis. Birokrasi didorong tetap
netral dengan tidak melibatkan dan dilibatkan dalam ranah politik. Aparat
birokrasi ditempatkan pada posisi netral. Posisi yang demikian sesungguhnya
menguntungkan birokrasi, di mana mereka tidak terbawa kepentingan politik dan
lebih mengkonsentrasikan diri pada tugas-tugasnya. Hal tersebut menghasilkan
birokrasi yang independen, tidak terkooptasi pemimpin demi kekuasaan,
mempertahankan diri, dan patronageHanya saja, upaya-upaya untuk kembali ”mempolitisasi
birokrasi” sampai sekarang masih berlangsung. Fenomena ”pengkapling-kaplingan”
birokrasi sekarang ini seolah menunjukkan bahwa wilayah birokrasi telah
”dicemari” terlalu jauh oleh kekuasaan politik. Dikhawatirkan ketika birokrasi
terjebak dalam aktivitas politik, akan terjadi konflik kepentingan. Apabila
terjadi dilema atas peran ganda para birokrat, masyarakatlah yang akan
dirugikan. Masyarakat yang menanggung atas pelayanan tidak prima dan tidak
optimal dari para birokrat. Dampak negatif lebih parah terjadi manakala mereka
sudah tidak dapat lagi mempertahankan netralitasnya di dalam masyarakat. Sikap
partisan rentan memunculkan konflik. Minimal ada kecenderungan berlangsung
krisis legitimasi. Atau memancing sikap apatisme masyarakat. Sebagai perangkat
sistem, birokrasi bagian yang mutlak ada dan tidak dapat disangkal lagi
eksistensinya. Kita meyakini, birokrasi harus profesional karena tanggungjawab
yang diemban sangat berat. Birokrasi berkontribusi besar terhadap upaya
pencapaian tujuan pembangunan nasional. Persoalan-persoalan seputar birokrasi
dan politik menjadi fokus utama dari buku ini. Sebagaimana dalam pengantarnya,
ketika kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah mulai timbul, maka
timbul pula pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya
merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah disampaikan oleh Woodrow Wilson
sebagai perwujudan dari dikotomi antara politik dan administrasi.
Di awal buku, penulis sudah banyak mengupas mengenai perjalanan sejarah
interaksi politik dalam birokrasi pemerintah. Interaksi ini mulai nampak sejak
Indonesia merdeka ketika tata pemerintahan kita telah diwarnai oleh kehidupan
partai politik. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh
besar terhadap kehidupan birokrasi pemerintah. Salah satu pengaruh itu ialah
birokrasi pemerintah terkontaminasi oleh bermacam dan beragam perbedaan
ideologi yang dibawa oleh partai politik. Kehadiran partai politik dalam
pemerintahan sejak dari Kabinet Sjahrir pertama sampai dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 berlangsung secara intensif. Para menteri yang ditunjuk
tidak lagi membawa nama partainya walaupun dikenal dari partai politik
tertentu, dan mulai saat itu militer ikut terlibat masuk ke kabinet.
Ketika Presiden Sukarno jatuh dan pemerintahan diganti oleh pemerintahan
orde baru, partai politik tidak lagi bisa berperan aktif dalam pemerintahan.
Peran partai politik digantikan oleh Golkar yang menamakan dirinya bukan partai
politik. Birokrasi pemerintah terang-terangan telah memihak kepada Golkar, dan
ini berlangsung cukup lama selama 32 tahun. Saat reformasi tampaknya masih
sulit untuk melakukan perubahan sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan
birokrasi kita. Partai-partai politik yang memerintah ribut untuk menanamkan
pengaruh dan orang-orangnya ke dalam birokrasi pemerintah. Buku ini terdiri
dari lima bab yang menjelaskan bagaimana
birokrasi pemerintahan dan politik berinteraksi dalam kehidupan pemerintahan di
Indonesia. Bab pertama dari buku ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan birokrasi pemerintah. Pertumbuhan kekuasan
birokrasi pemerintah diuraikan, di mana pertumbuhannya sejalan dengan tumbuh
dan berkembangnya pemerintahan itu sendiri.
Demikian pula diulas pemikiran tentang teori birokrasi, baik yang dimulai
dari pemikiran Max Weber sampai dengan clasical views dari Marxis dan Hegelian.
Bab ini diakhiri dengan uraian model dalam membangun pemerintahan serta uraian
tentang demokrasi presidensial dan parlementer. Kekuasaan dalam birokrasi
pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif. Ada
korelasi positif antara tingkatan hirarki jabatan dalam birokrasi dengan
kekuasan (power). Desentralisasi kekuasaan dimaksudkan untuk mengembalikan
kekuasaan atau memberdayakan rakyat serta adanya keterbatasan birokrasi
pemerintah sendiri. Privatisasi merupakan suatu upaya mengurangi peran
birokrasi pemerintah, atau meningkatkan peran sektor swasta didalam suatu
aktifitas atau pemilikan aset. Model dalam membangun birokrasi pemerintahan
pada bab pertama memberikan landasan pemikiran untuk menyusun bagaimana
seharusnya sistem dan kelembagaan yang dipilih. Politik dan birokrasi
pemerintah berbeda tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Menurut Max Weber,
birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Birokrasi pemerintah
diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Hegel berpendapat bahwa administrasi
negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara
(pemerintah) dengan masyarakatnya. Disebutkan bahwa birokrasi pemerintah tidak
bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Politik terdiri dari
orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik (consists of people acting
politically) yang diorganisasi secara politik oleh kelompok kepentingan dan
berusaha mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu
kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya serta mengesampingkan
kepentingan kelompok lain.
Birokrasi Pemerintah yang acapkali
disebut sebagai kerajaan pejabat (officialdom) pada hakekatnya memamerkan kekuasaan
yang disusun secara hierarki. Susunan hierarki kekuasaan seperti ini merupakan
ciri khas dari perwujudan birokrasi.
Pertumbuhan kekuasaan dalam
birokrasi pemerintah sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintah itu
sendiri. Tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena
berkembangnya fungsi sosioekonomi, karena tekanan ideologi dan politik untuk
mengembangkan pendapatan. Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan
kebijakan publik. Ada juga karena kenaikan budget dan bertambahnya personel
yang mengerjakan kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh
yang besar sekali bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi
masyarakat lainnya yang mampu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang
pada pemerintahan.
Konsepsi birokrasi Weber yang
dianut dalam organisasi pemerintah (goverment) banyak memperlihatkan cara-cara
officialdom. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian
urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat ini, bukannya pejabat
yang tergantung pada rakyat. Pelayanan kepada rakyat bukan diletakkan pada
pertimbangan utama, melainkan pada pertimbangan yang ke sekian. Pengalaman
konsep birokrasi pemerintah Weberian yang cenderung menjadikan kerajaan pejabat
tersebut banyak mendapatkan kritikan. Salah satu yang mengkritik pedas adalah
Warren Bennis. Di dalam tulisannya di majalah Personnel Administration (1967)
dia menulis bahwa birokrasi Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan
datang (dihitung semenjak tulisannya itu) kita bersama-sama akan menyaksikan
jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai
dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Kritikan Bennis itu didasarkan atas
suatu prisip evolusi bahwa setiap zaman tertentu akan mengembangkan suatu
bentuk tatanan sistem organisasi yang sesuai zamannya. Dikatakan oleh Bennis
bahwa bentuk hierarki piramidal yang dikenal oleh sosiologi sebagai birokrasi
dan oleh businesman sebagai “the damn bureaucracy” (“birokrasi terkutuk”) telah
ketinggalan dari realita zaman sekarang.
Ciri birokrasi Weberian adalah
kekuasaan itu ada pada setiap hierarki jabatan pejabat Di depan telah
disinggung bahwa semakin tinggi hierarki jabatan tersebut semakin besar
kekuasaannya, dan semakin rendah hierarkinya semakin tidak berdaya (powerlas).
Hierarki yang paling bawah (beyond the hierarchy) adalah masyarakat atau
rakyat. Pada posisi ini mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan.
Disiplin birokrasi model Weber ini
menyatakan bahwa hierarki bahwa tidak berani atau tidak boleh melawan kekuasaan
hierarki atas.
Model dalam membangun birokrasi
pemerintah yang dikemukakan pada buku ini memberikan landasan pemikiran untuk
menyusun bagaimana seharusnya sistem dan kelembagaan yang dipilih. Dari model
yang menekankan tentang demokrasi, konstitusi, efisiensi, sampai dengan
pandangan politik ekonomi bisa dijadikan acuan pemikiran.
Politik dan birokrasi pemerintah
keduanya berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Kehadiran politik
dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu perlu diikuti
dengan kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam birokrasi pemerintah tidak
mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberikan kesempatan
hadirnya institusi politik. Rancang bangun penghuni birokrasi pemerintah akan
dijumpai hadirnya jabatan-jabatan politik. Bangunan jabatan-jabatan tersebut
tidak hanya terjadi di institusi
pemerintah atau pemerintah federal, melainkan terdapat pula dalam institusi
pemerintah lokal atau daerah.
Di pemerintah pusat atau federal
terdapat intitusi politik di bawah Presiden yang disebut departemen. Organisasi
ini merupakan tempat politik yang mempunyai akses kepada pemerintahan.
Institusi ini dipimpin menteri atau secretary. Selain itu ada pula institusi yang
murni dijabat oleh pejabat birokrasi karier yang disebut executive agency atau
lembaga pemerintah non departemen. Lembaga ini sederajat dengan departemen
hanya bedanya tidak dipimpin oleh menteri atau secretary dan tidak diberi label
departemen.
Di pemerintah lokal atau daerah
dapat pula dibentuk jabatan-jabatan politik dan birokrasi. Keduanya harus jelas
perbedaan wewenang, tanggung jawab, tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu
sebelumnya perlu diperjelas proses penentuan perbedaan antara kedua jabatan
tersebut.
Lembaga
dan system birokrasi pemerintah orde baru ini terkenal dengan system yang
mempunyai monopoli kekuasaan yang besar diperkuat dengan mempunyai deskresi
atau kebebasan untuk memutus yang luar biasa. Akan tetapi tidak diikuti oleh
adanya rasa akontabilitas public dan diperkuat dengan tidak adanya sarana
control yang dilaksanakan masyarakat.
Bab kedua membahas birokrasi dan
administrasi publik. Apa yang dimaksud dengan ilmu administrasi publik, peran
dan prospek pengembangannya diuraikan dengan jelas. Disorot juga tentang tata
kepemerintahan yang baik. Bab ini menerangkan pemahaman ilmu administrasi
publik dan perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang demokratis dan
baik. Ilmu administrasi publik amat menentukan dalam menciptakan keseimbangan
empat komponen (aktor pemerintah, aktor sektor swasta/ pengusaha, aktor civil
society/rakyat, dan moral) yang berperan menciptakan good governance.
Salah satu pengaruh perubahan
paradigma ilmu administrasi publik ialah ditempatkannya rakyat pada posisi yang
utama dalam mengukur keberhasilan pelayanan birokrasi pemerintahan. Jantung
dari suatu sistem politik dan tata pemerintahan yang demokratis terletak pada
wujud kontrol terhadap kegiatan pemerintah yang seharusnya dilakukan oleh
rakyat. Pemilihan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat yang
diwakilinya merupakan inti dari pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara
sekaligus mengingatkan pejabat untuk senantiasa melakukan akuntabilitas kepada
rakyat.
Dan dalam Ilmu Administrasi Publik
memang bukan sekedar sketsa yang hanya mampu menggambarkan sesuatu gejala tanpa
diikuti program aksi realistis. Jika administrasi publik hanya membicarakan
hal-hal yang abstrak yang tidak membumi di kehidupan masyarakat maka ilmu ini
banyak diabaikan dan ada perannya dalam menata kepemerintahan yang amanah,
demokratis dan baik. Oleh karena itu konsep-konsep dan model yang diajukan oleh
ilmu administrasi publik, seperti yang diuraikan pada buku ini tata
kepemerintahan yang demokratis (democratic
state) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance) perlu diikuti oleh konsep dan model yang
operational.
Buku ini juga menerangkan pemahaman
ilmu administrasi publik dan perannya dalam menciptakan tata kepemerintahan
yang demokratis dan baik (good governance). Dalam menciptakan tata
kepemerintahan yang baik yang senantiasa merusak dan menggrogotinya ialah korusi,
kolusi dan nepotisme. Ketiga penyakit good governance ini perlu ditanggulangi
dengan mengajukan satu komponen lagi yakni komponen moral. Moral sebagai
operasionalisasi dari keyakinan agama yang dipeluk oleh masing-masing orang
yang berada di masing-masing komponen harus menjadi pertimbangan bagi setiap
transaksi. Khusus bagi para pejabat birokrasi pemerintah moral dijadikan
pertimbangan utama mulai dari proses rekruitmen, promosi dan penempatan pejabat
birokrasi pemerintah.
Peran ilmu administrasi publik amat
menentukan dalam menciptakan keseimbangan keempat komponen tersebut. Dengan
demikian ilmu administrasi publik tidak hanya terpaku pada lukisan statis yang
hanya mampu mengajukan preskripsi teoritis saja, akan tetapi juga mampu
mengembangkan program aksi yang dinamis dan bermanfaat bagi masyakarakat.
Bagaimana mewujudkan konsep pemikiran menjadi kenyataan putting the ideas into
practice merupakan perhatian yang amat besar bagi ilmu administrasi publik ini.
Dalam buku ini juga menjelaskan
hubungan birokrasi dan partai politik. Sistem merit dalam politik sebagaimana
sistem merit dalam birokrasi merupakan untuk menegaskan sistem pemerintahan
yang baik.
Politik selalu berkaitan dengan
kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Studi politik yang amat tua dan
tradisional merujuk ke masa silam yang jauh ke kejayaan para philosopher Yunani
berabad-abad sebelum kelahiran Nabi Isa A.S. Tradisi tua ini oleh studi politik
disebut sebagai filsafat politik, yakni suatu kajian yang menekankan bahwa
nilai-nilai dan perilaku politik berada pada bingkai ideologi. Dengan demikian
ideologi menjadi refrensi pokok dari studi klasik tentang politik. Ideologi
dalam pemerintahan merupakan salah satu wujud dari ideologi politik yang
berusaha menjelaskan batas-batas kekuasaan yang berlaku dan yang terjadi dalam
pemerintahan. Kekuasaan dalam pemerintahan cenderung untuk tidak terbatas. Akan
tetapi kekuasaan itu perlu dibatasi. Cara membatasi kekuasaan dalam
pemerintahan sistem demokrasi perlu dijalankan. Dan demokrasi dalam pemerintahan
itu adalah kepemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.
Rakyat biasa dijumpai dalam partai
politik dan kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan lainnya. Rakyat melalui
partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya menjadi pemegang dan
sumber dari kekuasaan yang dijalankan dalam pemerintahan. Oleh karena itu
kelahiran dan kehadiran partai politik sebagai wadah politik rakyat dalam
memperjuangkan aspirasinya agar bisa dijalankan dalam pemerintahan merupakan
keharusan demokrasi.
Dengan demikian kehadiran partai
politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Masuknya partai
politik dalam kekuasaan pemerintahan harus melalui pemilihan umum. Bagi partai
politik yang memenangkan suara terbanyak dari rakyat berhak baginya untuk
memimpin pemerintah dan hadir di tengah-tengah birokrasi pemerintah.
Bab ketiga memuat penjelasan tentang
birokrasi dan partai politik. Konsep ideologi dan pemerintahan, paham
konstitusi liberal klasik, sistem kepartaian politik, partai politik dan
kekuasaan, prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan, kedaulatan rakyat,
kesamaan politik, konsultasi rakyat, kekuasaan mayoritas dan sistem merit dalam
politik diuraikan dalam bab ini. Awalnya diterangkan pemahaman dan pengenalan
terhadap identitas ideologi berikut komponennya. Keberadaan partai politik
sebagai wahana politik rakyat dalam memperjuangkan aspirasinya merupakan
keharusan birokrasi. Partai politik yang memperoleh suara rakyat terbanyak
berhak memimpin pemerintah dan hadir di dalam birokrasi pemerintah. Ditawarkan
juga beberapa prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan. Dan terakhir
ditutup dengan mengajukan sistem serta model merit dalam politik.
Sistem karier dalam politik, dari
tataran rendah ke yang lebih tinggi, mencerminkan profesionalitas politik. Bab
keempat membahas tentang partai politik dan birokrasi pemerintah Indonesia.
Diuraikan tentang perkembangan kabinet sejak pertama kali merdeka sampai dengan
sekarang. Bentuk-bentuk kabinet, siapa yang bisa diangkat sebagai menteri pada
jaman demokrasi liberal, orde baru, dan sekarang, serta netralitas birokrasi
diuraikan dalam bab ini. Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu
ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang menjauhkan dari
terwujudnya demokrasi. Lokus dan fokus penggunaan kekuasaan pada sistem
parlementer maupun presidensial bergerak sesuai dengan gerak bandul pendulum
antara legislatif dan eksekutif. Penulis buku ini menerangkan bahwa hadirnya
partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap
tatanan birokrasi pemerintah. Dicontohkan, selama pemerintahan orde baru Golkar
berkuasa sebagai partai pemenang pemilu. Susunan pemerintahan dikuasai oleh
Golkar. Semua posisi jabatan dalam organisasi departemen pemerintah ditempati
oleh kader Golkar. Sehingga struktur organisasi departemen pemerintah sulit
dibedakan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karir. Dominasi
kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi dipacu oleh dikotomi antara politik
dan administrasi. Pemikiran itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan
administrasi, serta adanya asumsi tentang superioritas fungsi politik atas
administrasi. Birokrasi yang riil menurut Max Weber mempunyai kekuasaan
terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Oleh karena itu
kedudukannya tidak sebagai sub ordinasi dan mesin pelaksana, melainkan
sebanding atau co-equality with the executive. Netralitas birokrasi diartikan
sebagai posisi birokrasi pemerintah yang seyogyanya tidak memihak atau sengaja
dibuat memihak kepada salah satu kekuatan politik atau partai politik.
Birokrasi bekerja sesuai dengan profesionalisme yang dituntut kepadanya dan
tidak boleh terkontaminasi oleh warna politik yang datang silih berganti
memimpinnya. Persoalan netralitas birokrasi tumbuh bersamaan dengan munculnya
demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik. Netralitas birokrasi
pemerintah terhadap kekuatan partai politik belum pernah ada di negara kita.
Buku ini juga menawarkan beberapa
prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik (political
equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan
berdasarkan pada aturan suara mayoritas.
Dengan demikian karier dalam
politik mulai dari tataran yang rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi
sehingga mencerminkan ke profesionalitas politik amat diperlukan bagi
pejabat-pejabat yang meniti di jalur politik ini.
Hadirnya partai politik dalam suatu
sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah.
Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh
para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik.
Kehadiran pejabat politik berasal dari kekuatan politik atau partai politik
dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu penataan
birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para
pejabat politik perlu ditata dengan baik.
Di Indonesia selama pemerintahan
orde baru, yang berkuasa dalam pemerintahan adalah partai pemenangan pemilu.
Jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita,
maka kondisi perubahan sistem politik ini antara pemerintahan orde baru dan
pemerintahan reformasi hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal
yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah
pusat maupun daerah ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari
mewarisi sikap dan perilaku orde baru yang mayoritas tunggal menjadi sikap
demokratis yang multi partai. Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan
pemerintahan disediakan dan dibedakan akses politik dalam birokrasi pemerintah.
Menurut teori liberal bahwa
birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam
pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi
oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki
oleh pejabat politik. Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi
pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik
saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Ketika keinginan memasukkan pejabat
poltik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pulalah suatu
pertanyaan tentang hubungan keduanya, pertanyaan ini harus dijernihkan dengan
jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan
birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol
dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan,
siapa mengontrol dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa.
Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwudan dikotomi
politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian timbul dua bentuk
alternatif solusi yang utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari
politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik
(bureaucratic sublation).
Bentuk solusi executive ascendancy
diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu
didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh
kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal rakyat atau berasal
dari public interest. (The political leadership bases its claim to supremacy on
the mandate of God or of the people, or on some notion of the public interest).
Supremasi mandat ini dilegitimatisasikan melalui pemilihan, atau kekerasan,
atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal,
kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya
(political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol
seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai “overhead
democracy”.
Dominasi kepemimpinan pejabat
politik atas birokrasi ini, sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan
administrasi seperti dikatakan di depan, suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai
sejak penemuan administrasi negara sebagai suatu ilmu. Pemikiran tentang
supremasi kepemimipinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari
perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang
tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Slogan klasik
pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi
administrasi itu mulai (when politic end, administration begin). Slogan ini mengartikan
bahwa birokrasi pemerintah sebagai mesin pelaksana kebijakan politik yang
dibuat oleh pejabat politik. Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga
diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan refrensi dari fungsi ke
sturuktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy-making) dan
pelaksaan (implementation, antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi.
Adapun bureaucratic sublation
didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah
hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max Weber sendiri mengenalkan bahwa
birokrasi yang real (sebagai lawan dari “tipe ideal”) itu mempunyai kekuasaan
yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Menurut
Weber :
“The
question is always who controls the existing beuraucratic machenery. And such
control is possible only in a very limited degree to persons who are not
technical specialists. Generally speaking, the trained permanent official is
(more) likely to get his way in the lung run than his nominal superior, the
Cabinet minister, who is not specialist.”
Pejabat birokrasi yang terlatih
secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang
permanen. Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karier yang panjang
jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan
yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak
sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau
co-equality with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan
kekuatan yang a politic but highly politized. Birokrasi bukan merupakan
partisan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk
membuat kebijakan yang profesional.
Netralitas birokrasi pada
hakekatnya adalah suatu sistem di mana birokrasi tidak akan berubah dalam
memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun
masternya berganti dengan master (parpol) yang lain. Pemberian pelayanan tidak
bergeser sedikit pun walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan
pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik.
Masalah
netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik
nampaknya tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Sejak lama sekali persoalan
ini tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi yang ditandai dengan adanya
partai politik.
Jika
diamati perjalanan sejarah birokrasi kita, maka netralitas birokrasi pemerintah
dari pengaruh dan kekuatan partai politik belum pernah terwujud. Oleh karena
itu kenetralan birokrasi pemerintah dari
pengaruh partai politik perlu untuk diperhatikan. Birokrasi pemerintah setelah
pemilihan umum tahun 1955 terkotak-kotak pada pemihakan terhadap kekuatan
partai politik yang memimpin departemennya. Jika seorang menteri yang memimpin
departemen berasal dari partai tertentu, maka warna birokrasi itu sewarna
dengan paratai politik menterinya. Demikian pula selama pemerintahan orde baru,
warna birokrasi pemerintah kita sewarna dengan kekuatan politik Golkar yang
menguasai pemerintahan. Dengan demikian netralitas birokrasi pemerintah
terhadap kekuatan partai politik sekali lagi belum pernah ada di negara kita.
Sekarang
dengan adanya banyak partai politik yang ikut dalam pemilihan umum, maka semua
partai itu mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilu. Di dalam
sistem demokrasi maka partai yang memenangkan suara suara dalam pemilu berhak
untuk memimpin pemerintahan ini. Kehadiran partai politik dan wakilnya yang
ditunjuk sebagai menteri yang memimpin suatu departemen, maka kalau tidak
diatur sistemnya ada kemungkinan peristiwa sejarah masa lalu semenjak tahun
1955 kemudian diperluas lagi semasa pemerintahan orde baru, akan terulang lagi.
Keadaan seperti ini akan memperkuat posisi birokrasi pemerintah agar tidak bisa
netral dari pengaruh dan intervensi partai politik. Walaupun sudah ada UU no.
43/1999 tentang kepegawaian negeri, dan pemerintah juga telah mengeluarkan
kebijakan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no 5 dan 12 tahun 1999 agar supaya
PNS tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik, akan tetapi kalau ada
upaya dari partai politik yang memimpin departemen untuk menginterverensinya,
maka peraturan pemerintah itu tidak akan efektif.
Jika
birokrasi memihak kepada salah satu kekuatan partai politik yang sedang
memerintah, sementara itu diharapkan birokrasi pemerintah itu memberikan
pelayanan kepada rakyat secara adil dan merata sebagaimana tugas dan fungsi negara
dan pemerintahan pada umumnya, maka sikap pelayanan tersebut jelas tidak
terpuji. Selain tidak terpuji sikap pelayanan tersebut tidak mencerminkan sikap
demokratis dan cendrung memberikan peluang bagi suburnya praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Selama ini kelembagaan birokrasi
pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang
sedikit banyak menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Paradigma kekuasaan
selalu bergulir dari waktu ke waktu, bergerak antara lembaga eksekutif dan
legislatif. Di kedua lembaga itu peran militer ikut mewarnai dari paradigma
kekuasaan tersebut. Pelaku-pelakunya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan,
yakni antara partai politik dan pemerintah termasuk militer di dalamnya. Pada
kurum waktu tertentu lokus kekuasaan berada pada lembaga eksekutif. Di sini
pemerintah lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan ketimbang
lembaga-lembaga yang ada. Sehingga dengan demikian pengguna kekuasaan nya fokus
nya diarahkan agar supaya sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara di satu
tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif.
Partai politik yang berada di lembaga legislatif memainkan peran yang sentral
dalam fokus penggunaan kekuasaan. Pemerintah bisa dijungkir-balikkan sesuai
dengan mosi tidak percaya atau impeachment dari lembaga ini. Stabilitas
pemerintahan tidak tercapai, sementara itu profesionalisme baik di lembaga
legislatif dan eksekutif tidak juga bisa diwujudkan. Tarik-menarik dari lokus
dan fokus penggunaan kekuasaan berada di kedua lembaga tersebut.
Bab lima mengemukakan pokok-pokok
pikiran tentang kelembagaan dalam birokrasi pemerintahan masyarakat madani.
Termasuk diuraikan dasar-dasar pembentukan kelembagaan dari pemerintahan
masyarakat madani. Tiga kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam paradigma
masyarakat madani yakni kelembagaan rakyat, kelembagaan pemerintahan, dan kelembagaan
hukum. Pemerintahan madani menempatkan supremasi sipil dalam mengatur sistem
dan tata pemerintahan yang baik. Sehingga politik negara harus dilakukan dan
dirumuskan oleh orang-orang politik wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat.
Disebutkan, peranan partai politik merupakan bentuk transformasi dari lembaga
yang memegang kedaulatan rakyat. Jika demokrasi berjalan dengan baik yang
dimulai dari tata kehidupan berpartai, maka masyarakat madani akan bisa segera
diwujudkan. Buku ini lebih mudah dipahami karena disampaikan dengan pemaparan
bahasa sederhana serta banyak memberikan gambaran peristiwa yang terjadi dalam
realitas birokrasi di Indonesia. Meski kurang memberikan ulasan tersendiri
mengenai birokrasi dan politik secara lebih mendalam, namun buku ini sudah
sangat memberikan pengayaan pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai relasi
birokrasi dan politik di Indonesia. Oleh karenanya, buku ini cukup bermanfaat
bagi para akademisi, praktisi, maupun pemerhati masalah birokrasi dan politik.
Pelaksanaan birokrasi setiap negara
berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap
negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan
birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau
belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan
pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang
dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan
administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis.
Di Negara berkembang, pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi
informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada
sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan
pelayanan publik di Negara Jepang sebagai contoh perwakilan Negara maju dan di Negara
Indonesia sebagai contoh perwakilan dari Negara berkembang. Pelayanan publik
yang akan diangkat adalah masalah pelayanan publik yang terjadi dalam pengadaan
barang dan jasa khususnya dalam bidang transformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar