Jumat, 13 Februari 2015

RESENSI BUKU BIROKRASI DI INDONESIA



Tema Buku                :  Birokrasi di Indonesia
Judul Buku Resensi :  Birokrasi dan Politik di Indonesia
Pengarang                  :  Miftah Thoha
Penerbit                     :  PT. Raja Grafindo Persada
Tahun terbit              :  Januari, 2003
Jumlah Halaman       :  285  




BIROKRASI  DI INDONESIA
Sejak dari dahulu birokrasi seolah menjadi kue yang menarik untuk diperebutkan oleh para politikus. Melihat sejarah, birokrasi seringkali dijerat masuk dalam perangkap politik praktis. Masuknya politik dalam birokrasi diawali saat mulai merebaknya partai politik sebagai konsekuensi terbitnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tahun 1945. Dalam kerangka sistem parlementer, kepemimpinan silih berganti sesuai Parpol pemenang Pemilu. Sayangnya, birokrasi pemerintah menjadi terkotak-kotak. Kepemimpinan politik pada level puncak suatu departemen biasa menanamkan pengaruh hingga ke level staf (pegawai). Para pegawai cenderung tidak netral dan mengikuti pilihan politik pimpinannya. Akibatnya, orientasi pegawai tidak terfokus pada pelayanan publik yang independen, tapi diiringi kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya kepentingan politik tiap departemen yang berbeda-beda menyebabkan pemerintahan tidak solid. Demikian juga yang terjadi di daerah, pemerintah daerah di Indonesia berwarna-warni tergantung pemenang Pemilu di wilayahnya. Keadaan seperti ini berlangsung terus hingga era orde baru. Bedanya, ”partai” yang berkuasa dari pusat sampai di pelosok daerah hanya satu, yaitu Golongan karya (Golkar). Sementara PDI dan PPP menjadi partai yang tersubordinasi, hanya sebagai ”pelengkap penderita”. Pada waktu itu kesempatan memegang pemerintahan hanya milik Golkar. Demikian pula kesempatan untuk menanamkan pengaruh di birokrasi. Slogan monoloyalitas seakan merupakan kata ampuh untuk meredam gejolak politik birokrasi. Afiliasi pegawai pada Golkar sebagai satu-satunya pilihan politik memang mampu menciptakan stabilitas pemerintahan. Namun ”demokrasi semu” semacam ini mengakibatkan birokrasi tergantung dan menjadi alat politik. Birokrasi tidak netral karena melayani satu kepentingan politik tertentu.
Pada masa orde baru, aktivitas birokrasi digunakan melayani rezim untuk mempertahankan elit yang berkuasa. Akibatnya sistem check and balanceserta prinsip pelayanan prima diabaikan, sehingga pemerintah tidak mampu merespon tuntutan masyarakat dengan rasional dan bertanggungjawab. Kemajuan besar terjadi pada birokrasi pasca reformasi 1998, hubungan birokrasi dengan politik mulai ditata sebagaimana mestinya. Birokrasi harus steril dari kepentingan politik, maka birokrasi harus diberi jarak dengan politik praktis. Birokrasi didorong tetap netral dengan tidak melibatkan dan dilibatkan dalam ranah politik. Aparat birokrasi ditempatkan pada posisi netral. Posisi yang demikian sesungguhnya menguntungkan birokrasi, di mana mereka tidak terbawa kepentingan politik dan lebih mengkonsentrasikan diri pada tugas-tugasnya. Hal tersebut menghasilkan birokrasi yang independen, tidak terkooptasi pemimpin demi kekuasaan, mempertahankan diri, dan patronageHanya saja, upaya-upaya untuk kembali ”mempolitisasi birokrasi” sampai sekarang masih berlangsung. Fenomena ”pengkapling-kaplingan” birokrasi sekarang ini seolah menunjukkan bahwa wilayah birokrasi telah ”dicemari” terlalu jauh oleh kekuasaan politik. Dikhawatirkan ketika birokrasi terjebak dalam aktivitas politik, akan terjadi konflik kepentingan. Apabila terjadi dilema atas peran ganda para birokrat, masyarakatlah yang akan dirugikan. Masyarakat yang menanggung atas pelayanan tidak prima dan tidak optimal dari para birokrat. Dampak negatif lebih parah terjadi manakala mereka sudah tidak dapat lagi mempertahankan netralitasnya di dalam masyarakat. Sikap partisan rentan memunculkan konflik. Minimal ada kecenderungan berlangsung krisis legitimasi. Atau memancing sikap apatisme masyarakat. Sebagai perangkat sistem, birokrasi bagian yang mutlak ada dan tidak dapat disangkal lagi eksistensinya. Kita meyakini, birokrasi harus profesional karena tanggungjawab yang diemban sangat berat. Birokrasi berkontribusi besar terhadap upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Persoalan-persoalan seputar birokrasi dan politik menjadi fokus utama dari buku ini. Sebagaimana dalam pengantarnya, ketika kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah mulai timbul, maka timbul pula pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah disampaikan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari dikotomi antara politik dan administrasi.
Di awal buku, penulis sudah banyak mengupas mengenai perjalanan sejarah interaksi politik dalam birokrasi pemerintah. Interaksi ini mulai nampak sejak Indonesia merdeka ketika tata pemerintahan kita telah diwarnai oleh kehidupan partai politik. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan birokrasi pemerintah. Salah satu pengaruh itu ialah birokrasi pemerintah terkontaminasi oleh bermacam dan beragam perbedaan ideologi yang dibawa oleh partai politik. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan sejak dari Kabinet Sjahrir pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlangsung secara intensif. Para menteri yang ditunjuk tidak lagi membawa nama partainya walaupun dikenal dari partai politik tertentu, dan mulai saat itu militer ikut terlibat masuk ke kabinet.

Ketika Presiden Sukarno jatuh dan pemerintahan diganti oleh pemerintahan orde baru, partai politik tidak lagi bisa berperan aktif dalam pemerintahan. Peran partai politik digantikan oleh Golkar yang menamakan dirinya bukan partai politik. Birokrasi pemerintah terang-terangan telah memihak kepada Golkar, dan ini berlangsung cukup lama selama 32 tahun. Saat reformasi tampaknya masih sulit untuk melakukan perubahan sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi kita. Partai-partai politik yang memerintah ribut untuk menanamkan pengaruh dan orang-orangnya ke dalam birokrasi pemerintah. Buku ini terdiri dari lima bab yang  menjelaskan bagaimana birokrasi pemerintahan dan politik berinteraksi dalam kehidupan pemerintahan di Indonesia. Bab pertama dari buku ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan  birokrasi pemerintah. Pertumbuhan kekuasan birokrasi pemerintah diuraikan, di mana pertumbuhannya sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu sendiri.
Demikian pula diulas pemikiran tentang teori birokrasi, baik yang dimulai dari pemikiran Max Weber sampai dengan clasical views dari Marxis dan Hegelian. Bab ini diakhiri dengan uraian model dalam membangun pemerintahan serta uraian tentang demokrasi presidensial dan parlementer. Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif. Ada korelasi positif antara tingkatan hirarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasan (power). Desentralisasi kekuasaan dimaksudkan untuk mengembalikan kekuasaan atau memberdayakan rakyat serta adanya keterbatasan birokrasi pemerintah sendiri. Privatisasi merupakan suatu upaya mengurangi peran birokrasi pemerintah, atau meningkatkan peran sektor swasta didalam suatu aktifitas atau pemilikan aset. Model dalam membangun birokrasi pemerintahan pada bab pertama memberikan landasan pemikiran untuk menyusun bagaimana seharusnya sistem dan kelembagaan yang dipilih. Politik dan birokrasi pemerintah berbeda tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Menurut Max Weber, birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Disebutkan bahwa birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Politik terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik (consists of people acting politically) yang diorganisasi secara politik oleh kelompok kepentingan dan berusaha mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya serta mengesampingkan kepentingan kelompok lain.
Birokrasi Pemerintah yang acapkali disebut sebagai kerajaan pejabat (officialdom) pada hakekatnya memamerkan kekuasaan yang disusun secara hierarki. Susunan hierarki kekuasaan seperti ini merupakan ciri khas dari perwujudan birokrasi.
Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintah itu sendiri. Tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena berkembangnya fungsi sosioekonomi, karena tekanan ideologi dan politik untuk mengembangkan pendapatan. Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan kebijakan publik. Ada juga karena kenaikan budget dan bertambahnya personel yang mengerjakan kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh yang besar sekali bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi masyarakat lainnya yang mampu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang pada pemerintahan.
Konsepsi birokrasi Weber yang dianut dalam organisasi pemerintah (goverment) banyak memperlihatkan cara-cara officialdom. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat ini, bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat. Pelayanan kepada rakyat bukan diletakkan pada pertimbangan utama, melainkan pada pertimbangan yang ke sekian. Pengalaman konsep birokrasi pemerintah Weberian yang cenderung menjadikan kerajaan pejabat tersebut banyak mendapatkan kritikan. Salah satu yang mengkritik pedas adalah Warren Bennis. Di dalam tulisannya di majalah Personnel Administration (1967) dia menulis bahwa birokrasi Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang (dihitung semenjak tulisannya itu) kita bersama-sama akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20. Kritikan Bennis itu didasarkan atas suatu prisip evolusi bahwa setiap zaman tertentu akan mengembangkan suatu bentuk tatanan sistem organisasi yang sesuai zamannya. Dikatakan oleh Bennis bahwa bentuk hierarki piramidal yang dikenal oleh sosiologi sebagai birokrasi dan oleh businesman sebagai “the damn bureaucracy” (“birokrasi terkutuk”) telah ketinggalan dari realita zaman sekarang.
Ciri birokrasi Weberian adalah kekuasaan itu ada pada setiap hierarki jabatan pejabat Di depan telah disinggung bahwa semakin tinggi hierarki jabatan tersebut semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah hierarkinya semakin tidak berdaya (powerlas). Hierarki yang paling bawah (beyond the hierarchy) adalah masyarakat atau rakyat. Pada posisi ini mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan. Disiplin  birokrasi model Weber ini menyatakan bahwa hierarki bahwa tidak berani atau tidak boleh melawan kekuasaan hierarki atas.
Model dalam membangun birokrasi pemerintah yang dikemukakan pada buku ini memberikan landasan pemikiran untuk menyusun bagaimana seharusnya sistem dan kelembagaan yang dipilih. Dari model yang menekankan tentang demokrasi, konstitusi, efisiensi, sampai dengan pandangan politik ekonomi bisa dijadikan acuan pemikiran.
Politik dan birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Kehadiran politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu perlu diikuti dengan kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam birokrasi pemerintah tidak mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberikan kesempatan hadirnya institusi politik. Rancang bangun penghuni birokrasi pemerintah akan dijumpai hadirnya jabatan-jabatan politik. Bangunan jabatan-jabatan tersebut tidak hanya terjadi di institusi  pemerintah atau pemerintah federal, melainkan terdapat pula dalam institusi pemerintah lokal atau daerah.
Di pemerintah pusat atau federal terdapat intitusi politik di bawah Presiden yang disebut departemen. Organisasi ini merupakan tempat politik yang mempunyai akses kepada pemerintahan. Institusi ini dipimpin menteri atau secretary. Selain itu ada pula institusi yang murni dijabat oleh pejabat birokrasi karier yang disebut executive agency atau lembaga pemerintah non departemen. Lembaga ini sederajat dengan departemen hanya bedanya tidak dipimpin oleh menteri atau secretary dan tidak diberi label departemen.
Di pemerintah lokal atau daerah dapat pula dibentuk jabatan-jabatan politik dan birokrasi. Keduanya harus jelas perbedaan wewenang, tanggung jawab, tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu sebelumnya perlu diperjelas proses penentuan perbedaan antara kedua jabatan tersebut.
Lembaga dan system birokrasi pemerintah orde baru ini terkenal dengan system yang mempunyai monopoli kekuasaan yang besar diperkuat dengan mempunyai deskresi atau kebebasan untuk memutus yang luar biasa. Akan tetapi tidak diikuti oleh adanya rasa akontabilitas public dan diperkuat dengan tidak adanya sarana control yang dilaksanakan masyarakat.
Bab kedua membahas birokrasi dan administrasi publik. Apa yang dimaksud dengan ilmu administrasi publik, peran dan prospek pengembangannya diuraikan dengan jelas. Disorot juga tentang tata kepemerintahan yang baik. Bab ini menerangkan pemahaman ilmu administrasi publik dan perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang demokratis dan baik. Ilmu administrasi publik amat menentukan dalam menciptakan keseimbangan empat komponen (aktor pemerintah, aktor sektor swasta/ pengusaha, aktor civil society/rakyat, dan moral) yang berperan menciptakan good governance.

Salah satu pengaruh perubahan paradigma ilmu administrasi publik ialah ditempatkannya rakyat pada posisi yang utama dalam mengukur keberhasilan pelayanan birokrasi pemerintahan. Jantung dari suatu sistem politik dan tata pemerintahan yang demokratis terletak pada wujud kontrol terhadap kegiatan pemerintah yang seharusnya dilakukan oleh rakyat. Pemilihan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat yang diwakilinya merupakan inti dari pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara sekaligus mengingatkan pejabat untuk senantiasa melakukan akuntabilitas kepada rakyat.
Dan dalam Ilmu Administrasi Publik memang bukan sekedar sketsa yang hanya mampu menggambarkan sesuatu gejala tanpa diikuti program aksi realistis. Jika administrasi publik hanya membicarakan hal-hal yang abstrak yang tidak membumi di kehidupan masyarakat maka ilmu ini banyak diabaikan dan ada perannya dalam menata kepemerintahan yang amanah, demokratis dan baik. Oleh karena itu konsep-konsep dan model yang diajukan oleh ilmu administrasi publik, seperti yang diuraikan pada buku ini tata kepemerintahan yang demokratis (democratic state) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance) perlu diikuti oleh konsep dan model yang operational.
Buku ini juga menerangkan pemahaman ilmu administrasi publik dan perannya dalam menciptakan tata kepemerintahan yang demokratis dan baik (good governance). Dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik yang senantiasa merusak dan menggrogotinya ialah korusi, kolusi dan nepotisme. Ketiga penyakit good governance ini perlu ditanggulangi dengan mengajukan satu komponen lagi yakni komponen moral. Moral sebagai operasionalisasi dari keyakinan agama yang dipeluk oleh masing-masing orang yang berada di masing-masing komponen harus menjadi pertimbangan bagi setiap transaksi. Khusus bagi para pejabat birokrasi pemerintah moral dijadikan pertimbangan utama mulai dari proses rekruitmen, promosi dan penempatan pejabat birokrasi pemerintah.
Peran ilmu administrasi publik amat menentukan dalam menciptakan keseimbangan keempat komponen tersebut. Dengan demikian ilmu administrasi publik tidak hanya terpaku pada lukisan statis yang hanya mampu mengajukan preskripsi teoritis saja, akan tetapi juga mampu mengembangkan program aksi yang dinamis dan bermanfaat bagi masyakarakat. Bagaimana mewujudkan konsep pemikiran menjadi kenyataan putting the ideas into practice merupakan perhatian yang amat besar bagi ilmu administrasi publik ini.
Dalam buku ini juga menjelaskan hubungan birokrasi dan partai politik. Sistem merit dalam politik sebagaimana sistem merit dalam birokrasi merupakan untuk menegaskan sistem pemerintahan yang baik.
Politik selalu berkaitan dengan kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Studi politik yang amat tua dan tradisional merujuk ke masa silam yang jauh ke kejayaan para philosopher Yunani berabad-abad sebelum kelahiran Nabi Isa A.S. Tradisi tua ini oleh studi politik disebut sebagai filsafat politik, yakni suatu kajian yang menekankan bahwa nilai-nilai dan perilaku politik berada pada bingkai ideologi. Dengan demikian ideologi menjadi refrensi pokok dari studi klasik tentang politik. Ideologi dalam pemerintahan merupakan salah satu wujud dari ideologi politik yang berusaha menjelaskan batas-batas kekuasaan yang berlaku dan yang terjadi dalam pemerintahan. Kekuasaan dalam pemerintahan cenderung untuk tidak terbatas. Akan tetapi kekuasaan itu perlu dibatasi. Cara membatasi kekuasaan dalam pemerintahan sistem demokrasi perlu dijalankan. Dan demokrasi dalam pemerintahan itu adalah kepemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Rakyat biasa dijumpai dalam partai politik dan kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan lainnya. Rakyat melalui partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya menjadi pemegang dan sumber dari kekuasaan yang dijalankan dalam pemerintahan. Oleh karena itu kelahiran dan kehadiran partai politik sebagai wadah politik rakyat dalam memperjuangkan aspirasinya agar bisa dijalankan dalam pemerintahan merupakan keharusan demokrasi.
Dengan demikian kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Masuknya partai politik dalam kekuasaan pemerintahan harus melalui pemilihan umum. Bagi partai politik yang memenangkan suara terbanyak dari rakyat berhak baginya untuk memimpin pemerintah dan hadir di tengah-tengah birokrasi pemerintah.
Bab ketiga memuat penjelasan tentang birokrasi dan partai politik. Konsep ideologi dan pemerintahan, paham konstitusi liberal klasik, sistem kepartaian politik, partai politik dan kekuasaan, prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan, kedaulatan rakyat, kesamaan politik, konsultasi rakyat, kekuasaan mayoritas dan sistem merit dalam politik diuraikan dalam bab ini. Awalnya diterangkan pemahaman dan pengenalan terhadap identitas ideologi berikut komponennya. Keberadaan partai politik sebagai wahana politik rakyat dalam memperjuangkan aspirasinya merupakan keharusan birokrasi. Partai politik yang memperoleh suara rakyat terbanyak berhak memimpin pemerintah dan hadir di dalam birokrasi pemerintah. Ditawarkan juga beberapa prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan. Dan terakhir ditutup dengan mengajukan sistem serta model merit dalam politik.

Sistem karier dalam politik, dari tataran rendah ke yang lebih tinggi, mencerminkan profesionalitas politik. Bab keempat membahas tentang partai politik dan birokrasi pemerintah Indonesia. Diuraikan tentang perkembangan kabinet sejak pertama kali merdeka sampai dengan sekarang. Bentuk-bentuk kabinet, siapa yang bisa diangkat sebagai menteri pada jaman demokrasi liberal, orde baru, dan sekarang, serta netralitas birokrasi diuraikan dalam bab ini. Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Lokus dan fokus penggunaan kekuasaan pada sistem parlementer maupun presidensial bergerak sesuai dengan gerak bandul pendulum antara legislatif dan eksekutif. Penulis buku ini menerangkan bahwa hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Dicontohkan, selama pemerintahan orde baru Golkar berkuasa sebagai partai pemenang pemilu. Susunan pemerintahan dikuasai oleh Golkar. Semua posisi jabatan dalam organisasi departemen pemerintah ditempati oleh kader Golkar. Sehingga struktur organisasi departemen pemerintah sulit dibedakan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi karir. Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi. Pemikiran itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, serta adanya asumsi tentang superioritas fungsi politik atas administrasi. Birokrasi yang riil menurut Max Weber mempunyai kekuasaan terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak sebagai sub ordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equality with the executive. Netralitas birokrasi diartikan sebagai posisi birokrasi pemerintah yang seyogyanya tidak memihak atau sengaja dibuat memihak kepada salah satu kekuatan politik atau partai politik. Birokrasi bekerja sesuai dengan profesionalisme yang dituntut kepadanya dan tidak boleh terkontaminasi oleh warna politik yang datang silih berganti memimpinnya. Persoalan netralitas birokrasi tumbuh bersamaan dengan munculnya demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik. Netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik belum pernah ada di negara kita.
Buku ini juga menawarkan beberapa prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.
Dengan demikian karier dalam politik mulai dari tataran yang rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan ke profesionalitas politik amat diperlukan bagi pejabat-pejabat yang meniti di jalur politik ini.
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik.
Di Indonesia selama pemerintahan orde baru, yang berkuasa dalam pemerintahan adalah partai pemenangan pemilu. Jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita, maka kondisi perubahan sistem politik ini antara pemerintahan orde baru dan pemerintahan reformasi hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku orde baru yang mayoritas tunggal menjadi sikap demokratis yang multi partai. Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan dibedakan akses politik dalam birokrasi pemerintah.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik. Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Ketika keinginan memasukkan pejabat poltik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya, pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwudan dikotomi politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian timbul dua bentuk alternatif solusi yang utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation).
Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal rakyat atau berasal dari public interest. (The political leadership bases its claim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some notion of the public interest). Supremasi mandat ini dilegitimatisasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai “overhead democracy”.
Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi ini, sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi seperti dikatakan di depan, suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai sejak penemuan administrasi negara sebagai suatu ilmu. Pemikiran tentang supremasi kepemimipinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Slogan klasik pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administration begin). Slogan ini mengartikan bahwa birokrasi pemerintah sebagai mesin pelaksana kebijakan politik yang dibuat oleh pejabat politik. Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan refrensi dari fungsi ke sturuktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy-making) dan pelaksaan (implementation, antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi.
Adapun bureaucratic sublation didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max Weber sendiri mengenalkan bahwa birokrasi yang real (sebagai lawan dari “tipe ideal”) itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Menurut Weber :
“The question is always who controls the existing beuraucratic machenery. And such control is possible only in a very limited degree to persons who are not technical specialists. Generally speaking, the trained permanent official is (more) likely to get his way in the lung run than his nominal superior, the Cabinet minister, who is not specialist.”
Pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen. Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis. Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equality with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan kekuatan yang a politic but highly politized. Birokrasi bukan merupakan partisan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang profesional.
Netralitas birokrasi pada hakekatnya adalah suatu sistem di mana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol) yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik.
            Masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik nampaknya tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Sejak lama sekali persoalan ini tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik.
            Jika diamati perjalanan sejarah birokrasi kita, maka netralitas birokrasi pemerintah dari pengaruh dan kekuatan partai politik belum pernah terwujud. Oleh karena itu kenetralan birokrasi pemerintah  dari pengaruh partai politik perlu untuk diperhatikan. Birokrasi pemerintah setelah pemilihan umum tahun 1955 terkotak-kotak pada pemihakan terhadap kekuatan partai politik yang memimpin departemennya. Jika seorang menteri yang memimpin departemen berasal dari partai tertentu, maka warna birokrasi itu sewarna dengan paratai politik menterinya. Demikian pula selama pemerintahan orde baru, warna birokrasi pemerintah kita sewarna dengan kekuatan politik Golkar yang menguasai pemerintahan. Dengan demikian netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik sekali lagi belum pernah ada di negara kita.
            Sekarang dengan adanya banyak partai politik yang ikut dalam pemilihan umum, maka semua partai itu mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilu. Di dalam sistem demokrasi maka partai yang memenangkan suara suara dalam pemilu berhak untuk memimpin pemerintahan ini. Kehadiran partai politik dan wakilnya yang ditunjuk sebagai menteri yang memimpin suatu departemen, maka kalau tidak diatur sistemnya ada kemungkinan peristiwa sejarah masa lalu semenjak tahun 1955 kemudian diperluas lagi semasa pemerintahan orde baru, akan terulang lagi. Keadaan seperti ini akan memperkuat posisi birokrasi pemerintah agar tidak bisa netral dari pengaruh dan intervensi partai politik. Walaupun sudah ada UU no. 43/1999 tentang kepegawaian negeri, dan pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no 5 dan 12 tahun 1999 agar supaya PNS tidak menjadi anggota dan pengurus partai politik, akan tetapi kalau ada upaya dari partai politik yang memimpin departemen untuk menginterverensinya, maka peraturan pemerintah itu tidak akan efektif.
            Jika birokrasi memihak kepada salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah, sementara itu diharapkan birokrasi pemerintah itu memberikan pelayanan kepada rakyat secara adil dan merata sebagaimana tugas dan fungsi negara dan pemerintahan pada umumnya, maka sikap pelayanan tersebut jelas tidak terpuji. Selain tidak terpuji sikap pelayanan tersebut tidak mencerminkan sikap demokratis dan cendrung memberikan peluang bagi suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Paradigma kekuasaan selalu bergulir dari waktu ke waktu, bergerak antara lembaga eksekutif dan legislatif. Di kedua lembaga itu peran militer ikut mewarnai dari paradigma kekuasaan tersebut. Pelaku-pelakunya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan, yakni antara partai politik dan pemerintah termasuk militer di dalamnya. Pada kurum waktu tertentu lokus kekuasaan berada pada lembaga eksekutif. Di sini pemerintah lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan ketimbang lembaga-lembaga yang ada. Sehingga dengan demikian pengguna kekuasaan nya fokus nya diarahkan agar supaya sentralisasi kekuasaan berasal dan bermuara di satu tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik yang berada di lembaga legislatif memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan. Pemerintah bisa dijungkir-balikkan sesuai dengan mosi tidak percaya atau impeachment dari lembaga ini. Stabilitas pemerintahan tidak tercapai, sementara itu profesionalisme baik di lembaga legislatif dan eksekutif tidak juga bisa diwujudkan. Tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan berada di kedua lembaga tersebut.
Bab lima mengemukakan pokok-pokok pikiran tentang kelembagaan dalam birokrasi pemerintahan masyarakat madani. Termasuk diuraikan dasar-dasar pembentukan kelembagaan dari pemerintahan masyarakat madani. Tiga kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam paradigma masyarakat madani yakni kelembagaan rakyat, kelembagaan pemerintahan, dan kelembagaan hukum. Pemerintahan madani menempatkan supremasi sipil dalam mengatur sistem dan tata pemerintahan yang baik. Sehingga politik negara harus dilakukan dan dirumuskan oleh orang-orang politik wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Disebutkan, peranan partai politik merupakan bentuk transformasi dari lembaga yang memegang kedaulatan rakyat. Jika demokrasi berjalan dengan baik yang dimulai dari tata kehidupan berpartai, maka masyarakat madani akan bisa segera diwujudkan. Buku ini lebih mudah dipahami karena disampaikan dengan pemaparan bahasa sederhana serta banyak memberikan gambaran peristiwa yang terjadi dalam realitas birokrasi di Indonesia. Meski kurang memberikan ulasan tersendiri mengenai birokrasi dan politik secara lebih mendalam, namun buku ini sudah sangat memberikan pengayaan pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai relasi birokrasi dan politik di Indonesia. Oleh karenanya, buku ini cukup bermanfaat bagi para akademisi, praktisi, maupun pemerhati masalah birokrasi dan politik.
Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang. Birokrasi yang diterapkan sudah bagus atau belum di Negara maju dan Negara berkembang dapat terlihat dari penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakatnya seperti pengadaan barang dan jasa terutama dalam bidang transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi, dan penyediaan pendidikan gratis.
Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi. Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan public yang ada sudah baik karena hamper semua faktor tersebut bias teratasi dengan baik. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan pelayanan publik di Negara Jepang sebagai contoh perwakilan Negara maju dan di Negara Indonesia sebagai contoh perwakilan dari Negara berkembang. Pelayanan publik yang akan diangkat adalah masalah pelayanan publik yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa khususnya dalam bidang transformasi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar